Tuntutan petani cukup beralasan, karena penguasaan
lahan PTPN berdasar pada hak guna usaha (HGU) selama 25 tahun berakhir 2004.
Kenyataan, lahan ini tak juga diberikan kepada warga, pemilik lahan sejak awal.
Warga mengaku tidak ingin memperpanjang kontrak karena nilai sangat rendah.
Keberatan warga sebenarnya berangkat dari adanya
ketidakjelasan janji PTPN untuk mengembalikan tanah warga setelah 25 tahun
dikelola melalui Hak Guna Usaha (HGU). Setelah batas waktu 25 tahun ini, tanah
warga tidak dikembalikan. Bahkan kemudian terdengar kabar bahwa HGU itu telah
diperpanjang secara sepihak dari perusahaan dan pemerintah.
Pada 9 Agustus 2009, bentrokan kembali terjadi, bahkan
lebih parah. Tahun 2009, kepolisian mulai menurunkan brimob menghadapi protes
warga. Selain menembakkan gas air mata, juga peluru karet, mengakibatkan enam
warga terluka dan 17 orang ditahan dan diadili di pengadilan. Pasca
bentrok ini, aparat pun dinilai banyak intimidasi, teror, dan sweeping warga
serta meminta tak lagi menuntut PTPN XIV.
Aksi penembakan aparat kepolisian terhadap warga
Takalar terkait sengketa lahan dengan PTPN XIV bukanlah kali pertama.
Sebelumnya, pada Oktober 2008, terjadi aksi serupa oleh aparat Polres Takalar.
Sejumlah lembaga non pemerintah di Makassar dan
Serikat Tani Polongbangkeng pun pernah mengajukan protes atas keberadaan Brimob
di PTPN XIV kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kehadiran Brimob
dinilai hanya memperuncing suasana. Atas protes itu, Kompolnas sudah memberikan
rekomendasi penarikan sesuai tuntutan warga. Namun tetap saja Brimob masih
berjaga-jaga di lokasi itu.
Menurut Nur Asiah ketua solidaritas perempuan (SP)
anging mammiri, pihaknya akan terus menagih komitmen DPRD Sulsel untuk kembali
menindaklanjuti upaya penyelesaikan kasus melalui Pemprov Sulsel dan DPRD.
Menurutnya, masyarakat yang sampai hari ini terus
memperjuangkan hak atas tanahnya adalah mereka yang tidak sepakat atas sistem
kerjasama yang dibangun oleh pihak PTPN XIV melalui koperasi Cinta Damai
Sejahtera dengan pihak Kabupaten Takalar di lahan seluas 125 Ha agar dikelola
oleh masyarakat untuk ditanami tebu. “Masyarakat dalam hal ini hanya di jadikan
sebagai buruh tani di tanahnya sendiri,“ katanya.
Menurut Nur Asiah, sejak Januari 2017, pihaknya
bersama perwakilan perempuan Takalar telah beberapa kali mendatangi kantor
Badan Pertanahan Nasional Takalar untuk mempertanyakan dan melihat dokumen Hak
Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV untuk konsesi perkebunan di
Kabupaten Takalar.
“Ini dalam rangka menindaklanjuti RDPU (rapat dengar
pendapat umum) yang difasilitasi oleh Komisi A DPRD Sulsel dan Surat Permohonan
Informasi Dokumen HGU PTPN XIV ke BPN Kanwil Propinsi Sulsel dan BPN Takalar
yang dikirimkan oleh Solidaritas Perempuan Anging Mammiri,” ujarnya.
Cara penyelesaiannya
beberapa langkah telah ditempuh oleh SP Anging Mammiri
bersama masyarakat untuk meminta salinan dokumen HGU PTPN XIV, namun pihak BPN
Takalar hanya mau memperlihatkan dan tidak memberikan salinan dokumen HGU,
sebagaimana disebutkan dalam surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Kanwil BPN
Sulsel dengan nomor surat 1.900/10-73/XI/2016, tertanggal 24 November 2016,
yang baru diketahui SP Anging Mammiri pada 11 Januari 2017 lalu.
Akhirnya, pada 18 Januari 2017, SP Anging Mammiri
bersama perwakilan perempuan Takalar mendatangi Kantor BPN Takalar dan
diperlihatkan Dokumen HGU PTPN XIV yang berada di Kantor BPN Takalar. Menurut
keterangan Abdul Latief, Bagian penerbitan Sertifikat BPN Takalar, sertifikat
HGU PTPN XIV terbit tahun 1998,
Nur Asiah menambahkan bahwa untuk HGU PTPN XIV di Desa
Lassang (saat ini Lassang Barat) dan Desa Mattompodalle (saat ini Kelurahan
Parang Luara) surat ukurnya terbit tahun 1993 dan sertifikatnya terbit tahun
1998 berlaku sampai 2023. Sementara luas lahan di Desa Lassang sesuai dengan
HGU PTPN XIV adalah 297,37 Ha dan untuk di Desa Mattompodalle 272,25 Ha.
“Namun di dalam dokumen yang diperlihatkan tidak jelas
di mana titik koordinatnya, sehingga belum berhasil memuaskan masyarakat.
Selain itu, informasi pihak BPN Takalar mengatakan bahwa HGU PTPN XIV
terpisah-pisah dan sebagian bermasalah. BPN juga mengatakan bahwa mereka belum
bisa memberikan informasi mengenai luas lahan PTPN XIV berdasarkan sertifikat
HGU karena ada beberapa buku tanah itu bermasalah dan di pinjam orang.”
Lebih lanjut menurut keterangan BPN Takalar, tambah
Nur Asiah, untuk luas lahan PTPN XIV adalah 6000 Ha namun gabung dengan yang di
kabupaten Gowa.
Dari sertifikat HGU yang diperlihatkan, diketahui
bahwa HGU baru diterbitkan pada tahun 1998, padahal sejak tahun 1980-an proses
pembebasan lahan di lakukan secara paksa oleh pihak perusahaan tanpa ada ganti
rugi dan perusahaan telah mulai melakukan aktivitas sejak itu.
“Beberapa kesimpangsiuran informasi mengenai HGU PTPN
XIV terutama terkait jangka waktu dan titik lokasi konsesi perkebunan PTPN yang
sampai hari ini menjadi salah satu faktor terjadinya konflik,” katanya.
Memantau konflik yang tak kunjung padam akhirnya Pemerintah
mengarahkan lima langkah penyelesaian konflik lahan yang belakangan ini marak
terjadi di masyarakat. Pengarahan
penyelesaian sengketa/konflik lahan tersebut dituangkan dalam Surat
Edaran Menseskab No. WE.03/Seskab/IV/2013 yang
ditandatangi oleh Sekretaris Kabinet Dipo Alam pada 22 April 2013.
Situs resmi
Sekretaris Kabinet, Senin (29/4) menyebutkan lima langkah penyelesaian konflik
lahan yang ditempuh pemerintah sesuai arahan Presiden pada Sidang
Kabinet Terbatas 25 Juli 2012.
Kelima langkah tadi yaitu :
pertama, sengketa lahan antara negara atau PT Perkebunan
Nusantara (PTPN) dengan masyarakat agar dicarikan solusinya secara
komprehensif, baik penyelesaian secara hukum maupun penyelesaian dengan
pendekatan sosial dan budaya.
Kedua, agar para gubernur dan bupati/walikota terus
bekerja dan mengingatkan masyarakat apabila terjadi konflik lahan untuk
dibicarakan lebih dahulu dan tidak melakukan pengrusakan dan pendudukan lahan
yang melawan hukum.
Ketiga, penyelesaian sengketa lahan dikerjakan secara komprehensif dan jangan ditunda agar tidak menjadi bom waktu.
Ketiga, penyelesaian sengketa lahan dikerjakan secara komprehensif dan jangan ditunda agar tidak menjadi bom waktu.
Keempat, penanganan sengketa lahan harus
menggunakan formula pendekatan hukum "win-win solution", sehingga
negara tidak dirugikan dan rakyat mendapat kesejahteraan meskipun dunia usaha
sedikit berkurang keuntungannya.
Kelima, pembentukan tim terpadu untuk menangani
kasus-kasus lahan, seperti konflik PTPN II di Sumatera Utara
dan konflik Mesuji di Lampung.